Sebuah Fiksi Mini: Rahasia Ini, Biarlah!

Annaenyonghaseyo, Chingu

Bertemu lagi denganku di bulan ini. Nah, aku mau berbagi cerita, nih, melalui sebuah fiksi mini yang kisahnya ku ambil dari pengalaman pribadi temanku. Untuk nama dan semua lokasinya, aku samarkan, ya. Namun, sebelum aku membeberkannya di blog ini, izin darinya sudah ku terima. Jadi, tenang saja, tidak akan apa-apa, apabila kalian membacanya. Yuk, mulai baca!

Rahasia Ini, Biarlah!

Dunia hanya sementara. Dunia hanya panggung sandiwara. Dunia tak menjanjikan apa-apa pada hidup seseorang. Namun, dunia sudah membutakan mata hatiku akan hidup yang semestinya bahagia. Entah apa yang sudah ditakdirkan Tuhan, hanya waktu yang bisa menjawabnya.

“Maafkan Ami. Ami tak bisa menerima semua keadaan ini!” Suara Ami semakin bergetar. Aku tahu, dia sedang menahan air mata. Raut wajah yang semula bersinar, kini redup ditelan kejujuranku yang tak bisa diterima oleh siapapun di keluarga ini.

“Aku…” bantahku berusaha menjelaskan semuanya.

“Ami tak bisa, Nak. Ami benar-benar tak bisa. Maafkan, Ami!” jerit beliau dan masuk ke dalam kamarnya yang tak jauh dari ruang tamu.

Aku terduduk di sudut sofa yang menghadap pintu rumah. Terdiam dan tak bisa mengatakan apapun lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Apa lagi yang harus ku lakukan? Aku telah mengecewakannya. Mengecewakan sosok ibu yang telah merawatku sejak kecil. Mengapa aku menjadi keras kepala seperti ini? Mengapa aku terlalu egois? Ku hentakkan kaki ini dengan kuat di lantai dan meraung di dalam kamar sendirian. Aku harus bagaimana sekarang?

“Mama." Suara manjanya menyadarkanku. Segera ku sapu airmataku yang telah tumpah ruah dan berlari mendekap buah hatiku, Hannan.

“Anan sudah pulang sekolah, Nak?” tanyaku padanya yang tak berkedip memandang keadaanku.

“Mama, kenapa nangis?”

Aku menggeleng. “Mama tidak apa-apa, Nak. Bagaimana tadi di sekolah?” jawabku sambil merangkul bahunya dan mengajaknya duduk di tepi kasur.

“Anan dapat nilai 100 waktu kuis Matematika. Pintar, kan, Ma?” ujarnya sambil mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas. Dengan wajah sumringah, dia menyerahkan kertas itu padaku.

Naluri keibuanku semakin kuat. Bagaimana bisa aku menyia-nyiakan masa depan anak semata wayangku ini?  Apa yang akan terjadi padanya, kalau dia mengetahui rahasia ini.

“Ma, nenek mana? Anan mau tunjuki nilai Anan,” ucapnya dan membuka dasi yang masih melingkar di leher. Dia meletakkannya di atas meja riasku.

“Di kamar, Nak…” Belum selesai aku berkata, Hannan sudah berlari menuju kamar Ami.

Dari dalam kamar, ku dengar teriakannya yang sedang memanggil Ami. Apa yang harus ku lakukan sekarang? Bagaimana aku menghadapi sikap keluargaku, terutama Hannan? Aku tak yakin dia bisa memahami keadaan ini. Aku benar-benar tak yakin. Masih dengan pikiran yang kacau, aku membaringkan tubuhku ke atas kasur. Sesaat kemudian, ponselku berdering…

Ku beranikan diri mengangkat panggilan itu sambil mengatur suaraku yang terdengar serak karena hampir berjam-jam menangisi masalah ini.

“Assalammualaikum, Mas…” sapaku dengan tenang.

“Walaikumsalam. Sedang apa sekarang, Sayang?”

“Sedang menunggu telepon dari Mas,” jawabku menggodanya dengan nada bergurau.

“Oh, ya? Begitukah? Senangnya hati Mas mendengarnya. Memang tak salah, kalau Mas memilih Hanifah menjadi pendamping hidup,” jawab Mas Aidil dengan melontarkan rayuan yang tak kalah manis dari godaanku tadi.

“Jangan gombal!”

Dia tertawa. “Mas serius, Sayang. Bagaimana dengan Ami? Hani sudah mengatakan semuanya pada mereka?” tanyanya.

“Hani tak tahu harus bagaimana lagi meyakinkan mereka, Mas. Hani bingung. Ami sudah kecewa pada Hani. Hani benar-benar tak sanggup menghadapi ini semua, Mas,” raungku sambil berusaha menahan isak tangis yang mungkin akan meledak andai saja tak ku tahan.

“Sabar, Sayang! Mas tahu ini sulit untukmu, tetapi Mas yakin Hani pasti sanggup. Kita tunggu saja sampai semuanya menerima keadaan kita, ya? Mas yakin Hani kuat. Ada Mas yang selalu di sampingmu.” Suaranya yang menenangkan, membuatku sedikit demi sedikit merasa lega.

“Iya, Mas. Bagaimana keadaan Mbak Fitri? Hani malu bertemu dengannya.”

“Lambat laun, Fitri juga akan mengerti dengan hubungan kita. Mas hanya tidak ingin membebani kalian berdua. Sekarang kalian adalah tanggung jawab, Mas. Mas menyayangi kalian.” Kata-kata Mas Aidil memberiku semangat yang masih tertutupi dengan kesedihan. 

29 Juli 2017, aku menikah dengan Mas Aidil, kakak kelas di MAN yang sudah bertahun-tahun berpisah dariku. Mungkin ini adalah takdirku menjadi istri keduanya. Tak ada yang bisa ku lakukan selain menyayanginya sepenuh hati sembari menunggu keajaiban.

Kisahnya Rumit

Ah, sudah ku duga kalian pasti akan sedikit emosi setelah selesai membaca kisah ini. Mungkin saja, di awal paragraf sudah terbaca cerita ini tentang apa dan siapa. Namun, percayalah, dia bukan seorang wanita jahat yang harus diperlakukan tidak baik. Dia hanya memilih hidupnya.


Hwaiting, Chingu ~ 


Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url